Kota Bekasi — Di tengah lalu lintas pembangunan yang semakin padat di Kota Bekasi, satu hal mendesak yang tak boleh diabaikan adalah Sertifikat Laik Fungsi (SLF)—dokumen sah yang menyatakan bahwa sebuah bangunan aman dan layak digunakan. Namun, di balik deretan gedung yang menjulang dan pusat perbelanjaan yang gemerlap, tersimpan ironi: hanya sekitar 9% bangunan di Kota Bekasi yang memiliki SLF dari total lebih dari 6.000 bangunan yang berdiri.
Dalam sesi podcast Telusur Parlementaria yang digelar pada Rabu sore, 30 Juli 2025 di ruang Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Bekasi, Kalimalang, Evi Mafriningsianti, S.E., M.M., Anggota DPRD Kota Bekasi dari Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga menjabat sebagai Sekretaris Komisi II, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPRD Kota Bekasi menyampaikan urgensi pembenahan serius dalam sistem pengawasan dan penindakan terkait SLF.
“SLF bukan sekadar lembaran dokumen. Ia menyangkut nyawa. Gedung yang difungsikan tanpa kelayakan teknis bisa menjadi bom waktu bagi masyarakat,” tegas Bunda Evi, sapaan akrabnya.
Komisi II DPRD Kota Bekasi, yang membidangi urusan perekonomian, perindustrian, dan pelayanan publik, kini menyoroti lemahnya pengawasan serta minimnya sinergi antar perangkat daerah dalam urusan SLF. Evi menilai, perlu adanya langkah luar biasa untuk membendung pembiaran ini.
Usulan Satgas Khusus SLF menjadi salah satu inisiatif yang dilontarkan dalam forum tersebut. Bunda Evi mendorong pembentukan satuan tugas yang melibatkan lintas sektor: DPMPTSP, Dishub, Dinas Lingkungan Hidup, Damkar, dan Satpol PP.
“Kami mendorong Satgas SLF untuk ‘menjemput bola’. Tak cukup hanya menunggu pemohon datang. Petugas harus aktif turun ke lapangan, memberi edukasi, dan menindak jika ditemukan pelanggaran,” ujar Evi.
Ia menyoroti bahwa rendahnya partisipasi pemilik gedung untuk mengurus SLF bukan hanya soal ketidaktahuan, tapi juga karena lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah.
Tak hanya itu, Evi juga menyinggung perlunya revisi Peraturan Daerah (Perda) yang selama ini dianggap terlalu lunak dalam aspek penindakan. Menurutnya, saat ini diperlukan perda yang cukup tegas dalam memberi efek jera kepada pelanggar.
“Perda harus direvisi agar tak hanya memberi dasar administrasi, tapi juga mampu menjerat pelanggaran SLF sebagai tindakan pidana ringan atau sedang. Ini menyangkut perlindungan jiwa,” katanya.
Mengacu pada UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, serta PP No. 16 Tahun 2021 tentang pelaksanaan UU Cipta Kerja di sektor perumahan dan kawasan permukiman, disebutkan bahwa bangunan yang digunakan tanpa SLF merupakan bentuk pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi administratif hingga pidana.
Bunda Evi menutup pernyataannya dengan ajakan kepada seluruh dinas teknis dan pemangku kepentingan untuk duduk bersama menyusun roadmap percepatan SLF di Kota Bekasi. Kota ini, menurutnya, tak bisa dibiarkan tumbuh secara liar. Harus ada penataan dan keberanian menindak.
“Kita tak ingin ada korban dulu baru bergerak. SLF harus menjadi budaya baru dalam tata ruang Kota Bekasi,” pungkasnya.(DMS)